KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(KUHAP)
(KUHAP)
BAB
I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1. Penyidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2. Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
3. Penyidik pembantu
adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi
wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
undang-undang ini.
4. Penyelidik adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5. Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
6. a.
Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
8. Hakim adalah
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
9. Mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10. Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
11. Putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12. Upaya hukum
adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan
yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
13. Penasihat hukum
adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan
undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14. Tersangka adalah
seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15. Terdakwa adalah
seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
16. Penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
17. Penggeledahan
rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat
tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan
atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
18. Penggeledahan
badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau
pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta, untuk disita.
19. Tertangkap tangan
adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20. Penangkapan adalah
suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka
atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
21. Penahanan adalah
penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau
penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
22. Ganti kerugian
adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
23. Rehabilitasi
adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan
atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
24. Laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
25. Pengaduan adalah
pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat
yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak
pidana aduan yang merugikannya.
26. Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri
dan ia alami sendiri.
27. Keterangan saksi
adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
28. Keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan anak
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
30. Keluarga adalah
mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan
perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
31. Satu hari adalah
dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari.
32. Terpidana adalah
seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
BAB
II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal
2
Undang-undang ini berlaku untuk
melaksanakan tatacara peradilan dalam Iingkungan peradilan umum pada semua
tingkat peradilan.
BAB
III
DASAR PERADILAN
DASAR PERADILAN
Pasal
3
Peradilan dilakukan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
BAB
IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian
Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi
negara Republik Indonesia .
Pasal
5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat
melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan
tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat ;
3. mengambil sidik jari dan memotret
seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang
pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan
laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a
dan huruf b kepada penyidik.
Pasal
6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara RepublikIndonesia ;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
a. pejabat polisi negara Republik
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut dalam peraturan
pemerintah.
Pasal
7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di
bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a.
(3) Dalam melakukan tugasnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung
tinggi hukum yang berlaku.
Pasal
8
(1) Penyidik membuat berita acara
tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak
mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara
kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Pasal
9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai wewenang melakukan tugas
masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah
hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
BAB
IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian
Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia
yang diangkat oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana
tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 11
Penyidik pembantu -mempunyai wewenang
seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib
diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara
dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara
pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum
BAB
IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian
Ketiga
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas
perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila
ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan,
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada
terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan
hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam
Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak
pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.
BAB
V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian
Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan,
penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan
dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan
penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang
terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
Pasal 19
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku
pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil
secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan
yang sah.
BAB
V
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian
Kedua
Penahanan
Penahanan
Pasal
20
(1) Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan,
penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim
di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan
lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak
pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa
dengan memberikan surat
perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka
atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan
lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada keluarganya.
(4)Penahanan tersebut hanya dapat
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan
atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a.tindak pidana itu diancam dengan
pidana penjara lima
tahun atau lebih;
b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal
353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal
455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal
25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan
Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal
2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt.
Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran
Negara Nomor 3086).
Pasal 22
(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a.penahanan rumah tahanan negara;
b.penahanan rumah;
c.penahanan kota .
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di
rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan
mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat
menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.
(3) Penahanan kota
dilaksanakan di kota
tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban
bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang ditentukan.
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan
dikurangkan seluruhnya dan pidana yang dijatuhkan.
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima
darijumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga
dari jumlah Iamanya waktu penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau
hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis
penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pengalihan jenis penahanan
dinyatakan secara tersendiri dengan surat
perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya
diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi
yang benkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan
oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama
dua puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama
empat puluh hari.
(3) Ketentuan sebagamana tersebut pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu enam puluh hari
tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Penintah penahanan yang dibenikan
oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling
lama dua pulub hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk
paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus
sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim pengadilan negeri yang
mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan
pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan
untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari
walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan
tahanan demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang
mengadii perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan
pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk
paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimatia tersebut
pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan tinggi yang bersangkutan
untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dan
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari
walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan
tahanan demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan
kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan untuk paling lama lima
puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam
puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari
walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dan
tahanan demi hukum.
Pasal 29
(1)Dikecualikan dan jangka waktu
penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan
Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau
terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat
dihindarkan karena:
a.tersangka atau terdakwa menderita
gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b.perkara yang sedang diperiksa diancam
dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
(2)Perpanjangan tersebut pada ayat (1)
diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut
masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
(3)Perpanjangan penahanan tersebut átas
dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam tingkat:
a.penyidikan dan penuntutan diberikan
oleh ketua pengadilan negeri;
b.pemeriksaan di pengadilan negeri
diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;
c.pemeriksaan banding diberikan oleh
Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
(4)Penggunaan kewenangan perpanjangan
penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan
dengan penuh tauggung jawab.
(5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada
ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah dipenuhi.
(6)Setelah waktu enam puluh hari,
walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka
atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7)Terhadap perpanjangan penahanan
tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam
tingkat:
a.penyidikan dan penuntutan kepada
ketua pengadilan tinggi;
b.pemeriksaan pengadilan negeri dan
pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28
atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak
sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas permintaan tersangka atau
terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan
uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
(2) Karena jabatannya penyidik atau
penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan
dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
BAB
V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian
Ketiga
Penggeledahan
Pasal 32
Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik
dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau
penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 33
(1)Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat
penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang
diperlukan.
(2)Dalam hal yang diperlukan atas
perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dapat memasuki rumah.
(3)Setiap kali memasuki rumah harus
disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni
menyetujuinya.
(4)Setiap kali memasuki rumah harus
disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam
hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5)Dalam waktu dua hari setelah
memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dati
turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Pasal 34
(1)Dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal
33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a.pada halaman rumah tersangka
bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya;
b.pada setiap tempat lain tersangka
bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c.di tempat tindak pidana dilakukan
atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat umum lainnya
(2)Dalam hal penyidik melakukan
penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan
memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda
yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang
berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan,
penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a.ruang di mana sedang berlangsung
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
b.tempat di mana sedang berlangsung
ibadah dan atau upacara keagamaan;
c.ruang di mana sedang berlangsung
sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan
penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan
tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua
pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana
penggeledahan itu dilakukan.
Pasal 37
(1)Pada waktu menangkap tersangka,
penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya
serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada
tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2)Pada waktu menangkap tersangka atau
dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik,
penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.
BAB
V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian
Keempat
Penyitaan
Pasal 38
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan
oleh penyidik dengan surat
izin ketua pengadilan negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat
izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 39
(1)Yang dapat dikenakan penyitaan
adalah:
a.benda atau tagihan tersangka atau
terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau
sebagai hasil dan tindak pidana;
b.benda yang telah dipergunakan secara
Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.benda yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.benda lain yang mempunyai hubungan
langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan
karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi
ketentuan ayat (1).
Pasal 4O
Dalam hal tertangkap tangan penyidik
dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai
sebagai barang bukti.
Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik
berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutavnya atau
pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda
tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk
itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan
surat tanda penenimaan.
Pasal 42
(1) Penyidik berwenang memerintahkan
kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut
kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu
harus diberikan surat
tanda penerimaan.
(2) Surat
atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik
jika surat atau
tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau
kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakah
alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang
berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak
rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau
atas izin khusus ketua pengadilan negeni setempat kecuali undang-undang
menentukan lain.
Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah
penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat
yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan
benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas
benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin
untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan
memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan
menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a.apabila perkara masih ada ditangan
penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat
diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka
atau kuasanya;
b.apabila perkara sudah ada ditangan
pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut
umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa
atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang
bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat
mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(4) Benda sitaan yang bersifat
terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara
atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau
kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.kepentingan penyidikan dan penuntutan
tidak memerlukan lagi;
b.perkara tersebut tidak jadi dituntut
karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c.perkara tersebut dikesampingkan untuk
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan
suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka
benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda
itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak
dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal
barang bukti dalam perkara lain
BAB
V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH, PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian
Kelima
PemeriksaanSurat
Pasal 47
Pemeriksaan
Pasal 47
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa
dan menyita surat
lain yang dikirim melalui kantor pos dan teIekomunikasi, jawatan atau
pcrusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan
alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang
diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan
negeri.
(2) Untuk kepentingan tersebut.
penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila sesudah dibuka dan
diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada
hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas
perkara.
(2) Apabila sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan
segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan
beserta identitas penyidik.
(3) Penyidik dan para pejabat pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan
sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik membuat berita acara
tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.
(2) Turunan berita acara tersebut oleh
penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor pos dan telekomunikasi, kepala
jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan.
BAB
VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal
50
(1) Tersangka berhak segera mendapat
pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera
dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh
pengadilan.
PasaI 51
Untuk rnempersiapkan pembelaan:
a. tersangka berhak untuk diberitahukan
dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan
kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai,
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan
dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan
kepadanya
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan
secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat
penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu
mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa
bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagainiana dimaksud dalam Pasal
178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka
atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara
yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum
tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memiih sendiri
penasihat hukumnya.
PasaI 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa
disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak
mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk
untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya
dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka atau terdakwa yang
dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan
ketentuan undang-undang ini.
(2) Tersangka atau terdakwa yang
berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara
dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan berhak meng hubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk
kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun
tidak.
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan
penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang
berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun
orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwá berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungán
kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan
jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan
hukum.
PasaI 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara
Iangsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara
tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan
kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka atau terdakwa berhak
mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan
menerima surat
dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya,
untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.
(2) Surat
menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu
disalahgunakan.
(3) Dalam hal surat untuk tersangka
atau terdakwa ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau
pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau
terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi
cap yang berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk
mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian
khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak
untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali
terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut
masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut
ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95.
BAB
VII
BANTUAN HUKUM
BANTUAN HUKUM
Pasal
69
Penasihat hukum berhak menghubungi
tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan
menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada
setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan
perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat
hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka
sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak
diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat
(2).
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih
disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada
ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya
dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan
tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh penyidik,
penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi
pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap
keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi
pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau
penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara
pemeriksaan untuk kepentingan pernbelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan
menerima surat
dan tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.
Pasal 74
Pengurangan kebebasan hubungan antara
penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut
umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya
disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam
proses.
BAB
VIII
BERITA ACARA
BERITA ACARA
Pasal
75
(1) Berita acara dibuat untuk setiap
tindakan tentang:
a.pemeriksaan tersangka;
b.penangkapan;
c.penahanan;
d.penggeledahan;
e.pemasukan rumah;
f.penyitaan benda;
g.pemeriksaan surat ;
h.pemeriksaan saksi;
l.pemeriksaan di tempat kejadian;
j.pelaksanaan penetapan dan putusan
pengadilan;
k.pelaksanaan tindakan lain sesuai
dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat
yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat
atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain
ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh
semua pihak yang terlibat dalath tindakan tersebut pada ayat (1).
BAB
IX
SUMPAH ATAU JANJI
SUMPAH ATAU JANJI
Pasal
76
(1) Dalam hal yang berdasarkan
ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau
janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan
tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai
tatacaranya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal
menurut hukum.
BAB
X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang
ini tentang:
a.sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi
bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
Pasal 78
(1)Yang melaksanakan wewenang
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.
(2)Praperadilan dipimpin oleh hakim
tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang
panitera.
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau
rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut
alasannya.
Pasal 82
(1)Acara pemeriksaan praperadilan untuk
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan
sebagai berikut:
a.dalam waktu tiga hari setelah
diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b.dalam memeriksa dan memutus tentang
sah atau tidaknyapenangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi
akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun
dan pejabat yang berwenang;
c.perneriksaan tersebut dilakukan cara
cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya;
d.dalam hal suatu perkara sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan
kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e.putusan praperadilan pada tingkat
penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan
lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan
baru.
(2)Putusan hakim dalam acara
pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
(3)Isi putusan selain memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut
a.dalam hal putusan menetapkan bahwa
sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b.dalam hal putusan menetapkan bahwa
sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c.dalam hal putusan menetapkan bahwa
suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak
ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d.dalam hal putusan menetapkan bahwa
benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan
dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dan siapa benda itu disita.
(4)Ganti kerugian dapat diminta, yang
meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.
Pasal 83
(1)Terhadap putusan praperadilan dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidal dapat
dimintakan banding.
(2)Dikecualikan dan ketentuan ayat (1)
adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan
tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan
Bagian
Ketiga
Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili
perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding.
Bagian
Keempat
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili
semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB
XI
KONEKSITAS
KONEKSITAS
Pasal
89
(1) Tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan
peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang
terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer
tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku
untuk penyidikan perkara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dibentuk dengan surat
keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Pasal
90
(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam Iingkungan peradilan
umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur
militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut
pada Pasal 89 ayat (2).
(2) Pendapat dan penelitian bersama
tersebut dituangkan dalam. berita acara yang ditandatangani oleh para pihak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam penelitian bersama itu
terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang mengadili
perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada
Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur
Jenideral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal
91
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara
pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka
perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut
umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan
negeri yang berwenang.
(2) Apabila menurut pendapat itu titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimaña dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, agar
dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan
dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2)
dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk
menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah militer
tinggi.
Pasal
92
(1) Apabila perkara diajukan kepada
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita
acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat
(2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara, bahwa berita
acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau oditur militer tinggi
apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam Iingkungan
peradilan militer.
Pasal
93
(1) Apabila dalam penelitian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat perbedaan pendapat antara
penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka
masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan
disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa
Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perbedaan
pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ,
pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal
94
(1) Dalam hal perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang mengadili
perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga
orang hakim.
(2) Dalam hal pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan
peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum
dan peradilan militer secara berimbang.
(3) Dalam hal pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana tersebut pada Pasal
89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari Iingkungan peradilan
militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan
peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2)
dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri
Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik mengusulkan pengangkatan hakim
anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dan hakim
perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
BAB
XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana
berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh
tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan
lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli
warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara
tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin
menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian
sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.
Pasal 96
(1) Putusan pemberian ganti kerugian
berbentuk penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memuat dengan Iengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai
alasan bagi putusan tersebut.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 97
Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang berhak memperoleh
rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi
dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan
diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pasal 99
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta
penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk
mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri
menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat
tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti kerugian
dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidananya juga
mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) Apabila teriadi penggabungan antara
perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya
berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara
pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai
putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Ketentuan dan aturan hukum acara
perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini
tidak diatur.
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara
perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini
tidak diatur lain.
BAB
XIV
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Bagian
Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui,
menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut
diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan
yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa
menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang
diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1)
huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan
tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan
melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1) Laporan atau pengaduan yang
diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(2) Laporan atau pengaduan yang
diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
BAB
XIV
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Bagian
Kedua
Penyidikan
Pasal 106
Penyidikan
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima
laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat
untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf
a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah
selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera
menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut
pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami,
melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak
pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan
atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan
keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu
juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang
merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau
penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang
diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang
diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau
pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan
kepada yang bersangkutan.
Pasal
109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka
penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada
ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan
penuntut umum.
Pasal
110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat
bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum
segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk
dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum
mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai
apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil
penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal
111
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap
orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas
ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna
diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan
tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib
segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah
menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang
setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum
selesai.
(4) Pelanggar Iarangan tersebut dapat
dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.
Pasal
112
(1) Penyidik yang melakukan
pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang
memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah
dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan
hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang
kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan
perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal
113
Jika seorang tersangka atau saksi yang
dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang
kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat
kediamannya.
Pasal
114
Dalam hal seorang disangka melakukan
suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik
wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum
atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal
115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka penasihat hukum dapat mengikuti jalannya
pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap
keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak
dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka
Pasal
116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak
disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan
dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri,
tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya
apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan
bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Pasal
117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi
kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk
apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi
keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan
tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita
acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka
sendiri.
Pasal
118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi
dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang
memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi
tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
Pasal
119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang
harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah
hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan
atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat
tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal
120
(1) Dalam hal penyidik menganggap
perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus.
(2) AhIi tersebut mengangkat sumpah
atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan
menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena
harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan
rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal
121
Penyidik atas kekuatan sumpah
jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak
pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada
waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau
saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala
sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal
122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu
satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan dan harus mulai diperiksa
oleh penyidik.
Pasal
123
(I) Tersangka, keluarga atau penasihat
hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka
kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu penyidik dapat
mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau
tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan
tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari
permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau
penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat
mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau
tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan
tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat mengabulkan permintaan
dengan atau tanpa syarat.
Pasal
124
DaIam hal apakah sesuatu penahanan sah
atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat
mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan
praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka
tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
PasaI
125
Dalam hal penyidik melakukan
penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada
tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam PasaI 33 dan Pasal 34.
Pasal
126
(1) Penyidik membuat berita acara
tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu
berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian
diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau
keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam haI tersangka atau
keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya
Pasal
127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban
penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak
memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat
tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal
128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan,
terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda
itu disita.
Pasal
129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang
akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada
keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu
dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan dua orang
saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara
penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita
atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun
orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi.
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu
disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat
dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu
disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita
atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal
130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus,
dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat
khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu
disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan
ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak
mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda
tersebut.
Pasal
131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana
sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan
dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera
pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku
atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan
menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129 undang-undang ini.
Pasal
132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa
sesuatu surat
atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk
kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal
itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa
ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib
dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat
asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan
perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang
dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan
dari daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 131, penyidik dapat minta supaya
daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan
dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu daftar,
penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang
dibagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu
dibuat.
(5) Dalam hal surat
atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, tanpa
alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya.
(6) Semua pengeluaran untuk
penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya
perkara.
Pasal
133
(1) Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara
baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada
ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal
134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana
untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan,
penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan
perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak
ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak
diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal
135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1)
undang-undang ini.
Pasal
136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk
kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab 14
ditanggung oleh negara.
BAB
XV
PENUNTUTAN
PENUNTUTAN
Pasal
137
Penuntut umum berwenang melakukan
penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam
daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima
hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam
waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata
belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam
waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau
menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera
menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat
atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat
bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu
secepatnya membuat surat
dakwaan.
(2) a.Dalam hal penuntut umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup
demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b.Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada
tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada
tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara,
penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan
baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan
penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama
atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan
oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan
terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang
bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak
bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain
itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu
berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa
orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.
Pasal
143
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara
ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut
disertai dengan surat
dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka;
b.uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
termpat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat
pelimpahan perkara beserta surat
dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan
penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan
maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya
satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dirnulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB
XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian
Kesatu
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan untuk datang ke
sidang pengadilan dilakukan Secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada
terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak
diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di
tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala
desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman
terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam
tahanan surat
panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun
oleh orarig lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun
tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat
panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang
berwenang mengadili perkaranya.
Pasal 146
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada
terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia
dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya
tiga hari sebelum sidang dimulai.
(2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada
saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia
dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-Iambatnya
tiga hari sebelum sidang dimulai.
Bagian
Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal
147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara
dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang
pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 148
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri
berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri
lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya.
(2) Surat
pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya
kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di
tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) disarnpaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.
Pasal 149
(1) Dalam hal penuntut umum
berkeberatan terhadap surat
penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:
a.Ia mengajukan perlawanan kepada
pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari setelah penetapan
tersebut diterima;
b.tidak dipenuhinya tenggang waktu
tersebut di atas mengakibatkan batalnya perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan
kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu
dicatat dalam buku daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan
negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang
bersangkutan.
(2) Pengadilan tinggi dalam waktu
paling lama empat belas hari setelah menerima perlawanan tersebut dapat
menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
(3) Dalam hal pengadilan tinggi
menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada
pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan
pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana
tersebut kepada pengadilan negeri yang bcrsangkutan.
(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili
terjadi:
a.jika dua pengadilan atau lebih
menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama;
b.jika dua pengadilan atau lebih
menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Pasal 151
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa
wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan
dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat
pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a.antara pengadilan dari satu
lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain;
b.antara dua pengadilan negeri yang
berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang berlainan;
c.antara dua pengadilan tinggi atau
lebih.
Bagian
Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
(1) Dalam hal pengadilan negeri
menerima surat
pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya,
ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan
hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang.
(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya
memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan.
Pasal 153
(1) Pada hari yang ditentukan menurut
Pasal 152 pengadilan bersidang.
(2) a.Hakim ketua sidang memimpin
pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa
Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi;
b.Ia wajib menjaga supaya tidak
dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi
memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim
ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam
ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan
bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan
menghadiri sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan
supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam
keadaan bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara
terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan,
hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara
tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya
terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah
dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah,
pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih
dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang,
pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan
agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara
sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama
berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari
penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155
(1) Pada permulaan sidang. hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama Iengkap. tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu
yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2)a.Sesudah itu hakim ketua sidang
minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan;
b.Selanjutnya hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila
terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua
sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat
hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah
diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.
(2) Jika hakim menyatakan keberatan
tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih .lanjut, sebaliknya
dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus
setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.
(3) Dalam hal penuntut umum
berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka Ia dapat mengajukan perlawanan
kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.
(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan
oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka
dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan
pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk
memeriksa perkara itu.
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan
bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya
kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima
perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan
membátalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan
negeri yang berwenang;
b.Pengadilan tinggi menyampaikan
salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada
pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan
disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah
melimpahkan perkara itu.
(6) Apabila pengadilan yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) berkedudukan di daerah hukum pengadilan
tinggi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan
negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat itu.
(7) Hakim ketua sidang karena
jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mdndengar pendapat penuntut
umum dan terdakwa dengan surat
penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakán pengadilan tidak berwenang.
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan
diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat hubungan keluarga
sedarah atau Semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun
sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut
umum atau panitera.
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota,
penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semeñda sampai derajat ketiga
atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau
dengan penasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1)
dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus diganti dan apabila tidak
dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara wajib
segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau
tidaknya terdakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua sidang selanjutnya
meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah
untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum
memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal saksi tidák hadir,
meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup
alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua
sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
Pasal 160
(1)a. Saksi dipanggil ke dalam ruang
sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh
hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum;
b.Yang pertama-tama didengar
keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang
menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara
dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum
selamã berIangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusán, hakim ketua
sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan
kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan,
selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang
menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan
sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri
terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa
ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang
sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu,
seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli
itu selesai memberi keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa
alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan
sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu
penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah
atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi sesudah memberi
keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak
dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau
tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan
negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.
(2) Jika keterangan itu sebelumnya
telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan
keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda
dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang
mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan
yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali seorang saksi selesai
memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana
pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(2) Penuntut umum atau penasihat hukum
dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak
pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi
atau terdakwa dengan memberikan alasannya.
Pasal 165
(1) Hakim ketua sidang dan hakim
anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk
mendapatkan kebenaran.
(2) Penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan kepada saksi.
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak
pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum
kepada saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Hakim dan penuntut umum atau
terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang, dapat
saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka
masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak
bolèh diajukan baik kepada terdakwa; maupun kepada saksi
Pasal 167
(1) Setelah saksi .memberi keterangan,
ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk
meninggalkannya.
(2) Izin itu tidak diberikán jika
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum mengajukan permintaan supaya
saksi itu tetap menghadiri sidang.
(3) Para
saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa.
b. saudara dan terdakwa atau yang
bérsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal
derajat ketiga
c. suami atau isteri terdakwa meskipun
sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas
menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
(2) Tanpa persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa
sumpah.
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan,
harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang
hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya
segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi
keterangan tanpa sumpah ialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b.orang sakit ingatan atau sakit jiwa
meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Setelah saksi memberi keterangan
maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak
mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi
lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya,
baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hádirnya saksi yang
dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila dipandang perlu hakim
karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang tèlah didengar keterangannya ke
luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar
keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu Ia
minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan
perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal
pada waktu ia tidãk hadir.
Pasal 174
(1) Apabila keterangan saksi di sidang
disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh -sungguh
kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman
pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan
palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada
keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan
untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal yang demikian oleh
panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan
saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah
palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta
panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut
ketentuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu hakim ketua sidang
menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana
terhadap saksi itu selesai.
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau
menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang
menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 176
(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang
tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang
menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya
terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu
itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa secara terus
menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang,
hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap
dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.
Pasal 177
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak
paham bahasa Indonesia ,
hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji
akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
(2) Dalam hal seorang tidak boleh
menjadi saksi dalam suatu perkara Ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam
perkara itu.
Pasal 178
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan
atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan
atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua
pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau
saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua
pertanyaan serta jawaban harus dibacakan
Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta
pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter atau ahli lainnya
wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas
untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan
ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Pasal 180
(1) Dalam hal diperlukan untuk
menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan
baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul keberatan yang
beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan
penelitian ulang.
(3) Hakim karena jabatannya dapat
memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2).
(4) Penelitian ulang sebagaimana
tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan
komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk
itu.
Pasal 181
(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan
kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal
benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
undang-undang ini.
(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan
juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
(3) Apabila dianggap perlu untuk
pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau
saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 182
(1) a.Setelah pemeriksaan dinyatakan
selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;
b.Selanjutnya terdakwa dan atau
penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum,
dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran
terakhir.
c.Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas
pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan
kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
(2) Jika acara tersebut pada ayat (1)
telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan
ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan
hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau
terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.
(3) Sesudah itu hakim mengadakan
musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu
diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin
meninggalkan ruangan sidang.
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3)
harus didasarkan atas surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim
ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai
hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah
hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta
alasannya.
(6) Pada asasnya putusan dalam
musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu
setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku
ketentuan sebagai berikut
a.putusan diambil dengan suara
terbanyak;
b.jika ketentuan tersebut huruf a tidak
juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa.
(7) Pelaksanaan pengambilan putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang
disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.
(8) Putusan pengadilan negeri dapat
dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya
harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
Bagian
Keempat
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal
183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti
ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang
berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada .hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekà an, yang
diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan
seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan
a. persesuaian antara keterangan saksi
satu dengan yang lain;
b .persesuaian antara keterangan saksi
dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan
oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaán saksi
serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun
apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang
ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 187
a.berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b.surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan;
c.surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d.surat lain yang hanya dapat berlaku
jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hanya dapat diperoleh dari ;
a.keterangan saksi;
b. surat ;
c.keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan
di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.
Pasal 190
a. Selama pemeriksaan di sidang, jika
terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat
penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan
terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hal terdakwa ditahan,
pengadilan dapat memerintahkan dengan surat
penetapannya untuk membebaskan terdakwaa jika terdapat alasan cukup untuk itu
dengan mengingat ketentuan Pasal 30.
Pasal 191
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa
dakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan
untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah
terdakwa perlu ditahan.
Pasal 192
(1) Perintah untuk membebaskan terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh jaksa
sesudah putusan diucapkan.
(2) Laporan tertulis mengenai
pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat penglepasan, disampaikan kepada ketua
pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh
empat jam.
Pasal 193
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana.
(2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan
putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa
tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi terdapat alasan
cukup untuk itu.
b.Dalam hal terdakwa ditahan,
pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada
dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
Pasal 194
(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya
barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima
kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut
ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan
negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
(2) Kecuali apabila terdapat alasan
yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan segera sesudah
sidang selesai.
(3) Perintah penyerahan barang bukti
dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali dalam hal putusan
pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 195
Semua putusan pengadilan. hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan
hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat Iebih dari
seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya
terdakwa yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan
diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa
tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau. segera
menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum
menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang ini;
c. hak minta menangguhkan pelaksanaan
putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak minta diperiksa perkaranya dalam
tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini,
dalam hal Ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
ini.
Pasal 197
(1)Surat putusan pemidanaan memuat:
a.kepala putusan yang dituliskan
berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara
ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana
terdapat dalam surat
tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya
musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa,
pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai
dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat
otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan
atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.hari dan tanggal putusan, nama
penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam
ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera
menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 198
(1) Dalam hal seorang hakim atau
penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau pejabat kejaksaan yang
berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut.
(2) Dalam hal penasihat hukum
berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti ternyata tidak ada
atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.
Pasal 199
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat :
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera
dibebaskan jika Ia ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.
Pasal 200
Pasal 201
(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau
dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan putusan yang ditandatanganinya
pada surat tersebut yang memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197
ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut diberi catatan
dengan menunjuk pada petikan putusan itu.
(2) Tidak akan diberikan.salinan
pertama atau salinan dari surat
asli palsu atau yang dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada
catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan
putusan.
Pasal 202
(1) Panitera membuat berita acara
sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan memuat segala
kejadan di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.
(2) Berita acara sidang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan saksi,
terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini
cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut
perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya.
(3) Atas permintaan penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang wajib memerintahkan kepada
panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau
keterangan.
(4) Berita acara sidang ditandatangani
oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila salah seorang dari mereka
berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.
Bagian
Kelima
Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203
Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203
(I) Yang diperiksa menurut acara
pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak
termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru
babasa dan barang bukti yang diperlukan.
(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan
dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan
itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:
a.1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan;
2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan;
a.1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan;
2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu
pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling
lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum
juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara
itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa;
c. guna kepentingan. pembelaan, maka
atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat menunda
pemeriksaan paling lama tujuh hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus,
tetapi dicatat dalam berita acara sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang
sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa.
Pasal
204
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu
perkara yang diperiksa de.ngan acara singkat ternyata sifatnya jelas dan
ringan, yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan
persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut
Bagian
Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal
205
(1) Yang diperiksa rnenurut acara
pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana
penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya
tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan
dalam Paragraf 2 Bagian ini.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak
berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang
bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat
pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal
206
Pengadilan menetapkan hari tertentu
dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana
ringan.
Pasal
207
(I) a. Penyidik memberitahukan secara
tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggaI, jam dan tempat ia harus
menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik,
selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.
b. Perkara dengan acara pemeriksaan
tindak pidana ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang
itu juga.
(2) a.Hakim yang bersangkutan
memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua perkara yang
diterimanya.
b. Dalam buku register dimuat nama
Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan
kepadanya.
Pasal
208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak
pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap
perlu.
Pasal
209
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam
daftar catatan perkara dan seIanjutnya oleh panitera dicatat dalam buku
register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.
(2) Berita acara pemeriksaan sidang
tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang
tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.
Pasal
210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian
Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara Pemeriksaan Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Pasal
211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan
perundang-undangan lalu lintas jalan.
Pasal
212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas
jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh karena itu catatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada
pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
Pasal
213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di
sidang.
Pasal
214
(I) Jika terdakwa atau wakilnya tidak
hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar
hadirnya terdakwa, surat
amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh
penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku
register.
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di
luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan,
terdakwa dapat mengajukan perlawanan
(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah
putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(6) Dengan perlawanan itu putusan di
luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.
(7) Setelah panitera memberitahukan
kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim menetapkan hari sidang untuk
memeriksa kembali perkara.
(8) Jika putusan setelah diajukannya
perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), terhadap
putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal
215
Pengembalian benda sitaan dilakukan
tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika
terpidana telah memenuhi isi amar putusan.
Pasal
216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku
sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini
Bagian
Ketujuh
Pelbagai Ketentuan
Pelbagai Ketentuan
Pasal
217
(1) Hakim ketua sidang memimpin
pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2)Segala sesuatu yang diperintahkan
oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib
dilaksanakan dengan segera dan cermat.
Pasal
218
(1) Dalam ruang sidang siapapun wajib
menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
(2)Siapa pun yang di sidang pengadilan
bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak mentaati tata tertib
setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang
bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak
mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Pasal
219
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata
api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat
membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib menitipkan di
tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan
karena tugas jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin
bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat
maupun benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan apabila terdapat maka
petugas mempersilahkan yang bersangkutan untuk menitipkannya.
(3). Apabila yang bersangkutan
bermaksud meninggalkan ruang sidang, maka petugas wajib menyerahkan kembali
benda titipannya.
(4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2)
tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan bila ternyata bahwa
penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak pidana.
Pasal
220
(1) Tiada seorang hakim pun
diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik
langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib mengundurkan diri baik atas
kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukumnya.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan
pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat
pengadilan yang berwenang yang menetapkannya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam makna ayat tersebut di atas berlaku juga bagi penuntut umum.
Pasal
221
Bila dipandang perlu hakim di sidang
atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau penasihat
hukumnya dapat memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal
222
(l) Siapa pun yang diputus pidana
dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah
mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan
syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibebankan pada
negara.
Pasal
223
(1) Jika hakim memberi perintah kepada
seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar sidang, hakim dapat menunda
pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain.
(2) Dalam hal sumpah atau janji
dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim menunjuk panitera untuk
menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat berita acaranya.
Pasal
224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip
pengadilan yang mengadili perkara itu pada tingkat pertama dan tidak boleh
dipindahkan kecuali undang-undang nienentukan lain.
Pasal
225
(1) Panitera menyelenggarakan buku
daftar untuk semua perkara.
(2) Dalam buku daftar itu dicatat nama
dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan, tanggal penerimaan
perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada dalam tahanan, tanggal
dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan permintaan dan putusan
banding atau kasasi, tanggal permohonan serta pemberian grasi, amnesti, abolisi
atau rehabilitasi, dan lain hal yang erat hubungannya dengan proses perkara.
Pasal
226
(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada
terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.
(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada
penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya
diberikan atas permintaan.
(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh
diberikan kepada orang lain dengan seizin ketua pengadilan setelah
mempertimbangkan kepentingan dan permintaan tersebut.
Pasal
227
(1) Semua jenis pemberitahuan atau
panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada
terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum
tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman
mereka terakhir.
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan
tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang
dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan
dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas maupun orang
yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas
harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal orang yang dipanggil
tidak terdapat di salah satu termpat sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1),
surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar
negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang
dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, maka
surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang
mengeluarkan panggilan tersebut.
Pasal
228
Jangka atau tenggang waktu menurut
undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya.
Pasal
229
(1) Saksi atau ahli yang teIah hadir
memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat
pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan
wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal
230
(1) Sidang pengadilan dilangsungkan di
gedung pengadilan dalam ruang sidang.
(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut
umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut
masing-masing.
(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai berikut:
a. tempat meja dan kursi hakim terletak
lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan
pengunjung;
b. tempat panitera terletak di belakang
sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di
sisi kanan depan tempat hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum
terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan
tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa
dan saksi terletak di depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah
didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di
belakang tempat saksi yang telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di
sebelah kanan meja hakim dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja
hakim sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang
meja hakim;
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah
kiri tempat panitera;
j tempat sebagaimana dimaksud huruf a
sampai huruf i diberi tanda pengenal;
k. tempat petugas keamanan dibagian
pintu masuk utama ruang sidang dan ditempat lain yang dianggap perlu.
(4) Apabila sidang pengadilan
dilangsungkan diluar gedung pengadilan, maka tata tempat sejauh mungkin
disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut diatas.
(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak
mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera nasional harus ada.
Pasal
231
(1) Jenis, bentuk dan warna pakaian
sidang serta atribut yang berhubungan dengan perangkat kelengkapan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
(2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib
persidangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 217 ditetapkan dengan keputusan
Menteri Kehakiman.
Pasal
232
(1) Sebelum sidang dimulai, panitera,
penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk ditempatnya
masing-masing dalam ruang sidang.
(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan
ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat.
(3) Selama sidang berlangsung setiap
orang yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat
BAB
XVII
UPAYA HUKUM BIASA
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian
Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan banding sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau
yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.
(2) Hanya permintaan banding
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh panitera pengadilan
negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan
diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
196 ayat (2).
(3) Tentang permintaan itu oleh
panitera dibuat sebuah surat
keterangan yang ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya
diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat
rnenghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan
catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar
perkara pidana.
(5) Dalam hal pengadilan negeri
menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau
terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka
panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang
lain.
Pasal 234
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat tanpa diajukan permintaan banding
oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menenima putusan.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta
melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 234
(1) Selama perkara banding belum
diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu
dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh
diajukan lagi.
(2) Apabila perkara telah mulai
diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara itu pemohon mencabut
permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah
dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutannya.
Pasal 236
(1) Selambat-lambatnya dalam waktu
empat belas hari sejak permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan salinan
putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti kepada pengadilan tinggi.
(2) Selama tujuh hari sebelum
pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon banding wajib
diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan
negeri.
(3) Dalam hal pemohon banding yang
dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan mempelajari berkas
tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu
secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi,
(4) Kepada setiap pemohon banding wajib
diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian berkas perkaranya yang
sudah ada di pengadilan tinggi.
Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai
memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya
maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori
banding kepada pengadilan tinggi.
Pasal 238
(1) Pemeriksaan dalam tingkat banding
dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim
atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri
dari berita acara pemeriksaan dan penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang
pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan
dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri.
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan
beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding.
(3) Dalam waktu tiga hari sejak
menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib
mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak,
baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
(4) Jika dipandang perlu pengadilan
tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum
dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
PasaI 239
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat banding.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara hakim dan atau panitera
tingkat banding, dengan hakim atau panitera tingkat pertama yang telah
mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang hakim yang memutus
perkara dalam tingkat pertama kemudian tekah menjadi hakim pada pengadilan
tinggi, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama dalam tingkat
banding.
Pasal 240
(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat
bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam pénerapan
hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan
tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk
memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri.
(2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan
keputusan dapat membatalkan penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan
pengadilan tinggi dijatuhkan.
Pasal 241
(1) Setelah semua hal sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan,
pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal
membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan
sendiri.
(2) Dalam hal pembatalan tersebut
terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak berwenang memeriksa
perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148.
Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding
terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam
putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.
Pasal 243
(1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta
berkas perkara dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan,
dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada tingkat pertama.
(2) Isi surat
putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada
terdakwa dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya
pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi.
(3) Ketentuan mengenai putusan
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 berlaku juga bagi
putusan pengadilan tinggi.
(4) Dalam hal terdakwa bertempat
tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut, panitera minta bantuan
kepada panitera pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal untuk memberitahukan isi surat
putusan itu kepadanya.
(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui
tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri, maka isi surat putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan melalui kepala desa atau
pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di mana terdakwa biasa
berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, terdakwa dipanggil
dua kali berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah
hukum pengadilan negeri itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah
itu
Bagian
Kedua
Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh
pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat
pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permintaan tersebut oleh panitera
ditulis dalam sebuah surat
keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam
daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam hal pengadilan negeri
menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa
maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera
wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal 246
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi
oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Apabila dalam tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). pemohon terlambat mengajukan permohonan
kasasi maka hak untuk itu gugur.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai
hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 247
(1) Selama perkara permohonan kasasi
belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu
tidak dapat diajukan lagi.
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum
berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi
dikirimkan.
(3) Apabila perkara telah mulai
diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut
permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
(4) Permohonan kasasi hanya dapat
dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan
memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu empat
belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya
kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima.
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah
terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan
kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan
untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.
(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1)
dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (1) undang-undang
ini.
(4) Apabila dalam tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat menyerahkan memori
kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4) pasal ini.
(6) Tembusan memori kasasi yang
diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya
dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana
tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi
kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 249
(1) Dalam hal salah satu pihak
berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau
kontra memori kasasi, kepadanya diberikati kesempatan untuk mengajukan tambahan
itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1).
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) di atas diserahkan kepada panitera pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya dalam waktu
empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut dalam ayat (1), permohonan
kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 250
(1) Setelah panitera pengadilan negeri
menerima memori dan atau kontra memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248
ayat (1) dan ayat (4), Ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mahkamah
Agung.
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung
menerima berkas perkara tersebut ia seketika mencatatnya dalam buku agenda surat , buku register
perkara dan pada kartu penunjuk.
(3) Buku register perkara tersebut pada
ayat (2) wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap
hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung
berhalangan, maka penandatanganan dilakukan oleh WakiI Ketua Mahkamah Agung dan
jika keduanya berhalangan maka dengan surat
keputusan Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam
jabatan.
(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung
mengeluarkan surat
bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang
bersangkutan, sedangkan kepada para pihak dikirimkan tembusannya.
Pasal 251
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 157 berlaku juga bagi perneriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2) Hubungan keluarga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara hakim dan atau panitera
tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat banding serta tingkat
pertama. yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang hakim yang mengadili
perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi
hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang bertindak sebagai
hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.
Pasal 252
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 220 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat
kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan
pendapat mengenai hal Sebagaimana tersebut pada ayat (1), maka dalam tingkat
kasasi:
a. Ketua Mahkamah Agung karena
jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah
Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri
dari tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang seorang
diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam jabatan.
Pasal 253
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan
a. apakah benar suatu peraturan hukum
tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakab benar pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut
pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar
berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung,
yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara
pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan
dengan perkara itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat
terakhir.
(3) Jika dipandang perlu untuk
kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), Mahkamah Agung
dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum,
dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang
apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar keterangan
mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan
beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya permohonan kasasi.
(5) a. Dalam waktu tiga hari sejak
menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah
Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan
atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan,
maka dalam waktu empat belas hari, sejak penetapan penahanan Mahkarnah Agung
wajib memeriksa perkara tersebut.
Pasal 254
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa
permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 245, Pasal 246 dan Pasal 247, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat
memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal 255
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan
karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan
karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang,
Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus
perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan,
atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara
tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan
karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili
perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain
mengadili perkara tersebut.
Pasal 266
Jika Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung
membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku
ketentuan Pasal 255.
Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga bagi putusan kasasi Mahkamah Agung,
kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta berkas
perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama dalam waktu
tujuh hari.
Pasal 258
Ketentuan sebagaimana tersebut pada
Pasal 244 sampal dengan Pasal 257 berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap
putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
BAB
XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian
Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 259
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 259
(1) Demi kepentingan hukum terhadap
semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa Agung.
(2) Putusan kasasi demi kepentingan
hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 260
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan
hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung
melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama,
disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan risalah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan kepada pihak yang
berkepentingan.
(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan
segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung.
Pasal 261
(1) Salinan putusan kasasi demi
kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada
pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga dalam hal ini.
Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 259, Pasal 260, dan Pasal 261 berlaku bagi acara permohonan kasasi demi
kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
Bagian
Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Pasal
263
(1) Terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan peninjauan kembali
dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan
terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama
sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali
apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
(1) Permintaan peninjauan kembali oleh
pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera
pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan
menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali.
(3) Permintaan peninjauan kembali tidak
dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(4) Dalam hal pemohon peninjauan
kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu
menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia
mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan
peninjauan kembali.
(5) Ketua pengadilan segera mengirimkan
surat
permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung,
disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
(1) Ketua pengadilan setelah menerima
permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1)
menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan
kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut
memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana
tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan
pendapatnya.
(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat
berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan
panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang
ditandatangani oleh hakim dan panitera.
(4) Ketua pengadilan segera melanjutkan
permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita
acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan
surat
pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
(5) Dalam hal suatu perkara yang
dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut
harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat
dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.
Pasal 266
(1) Dalam hal permintaan peninjauan
kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2),
Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat
diterima dengan disertai dasar alasannya
(2) Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Mahkamah Agung tidak
membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan
kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan
alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan
kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan
hukum;
3. putusan tidak dapat menerima
tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana yang dijatuhkan dalam
putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan
dalam putusan semula.
Pasal 267
(1) Salinan putusan Mahkamah Agung
tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari
setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan
permintaan peninjauan kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi
putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268
(1) Permintaan peninjauan kembali atas
suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut.
(2) Apabila suatu permintaan peninjauan
kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal
dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan
kepada kehendak ahli warisnya.
(3) Permintaan peninjauan kembali atas
suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
PasaI 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada
Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan
kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
BAB
XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal
270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu
panitera mengrimkan salinan surat
putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya
dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau
kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana
yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai
dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan
pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar
denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus
seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat,
jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling
lama satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga
menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian
sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada
kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang
hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga
putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya
dilakukan menurut tatacara putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana
dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama secara
berimbang.
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana
bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan
yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang
BAB
XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal
277
(1) Pada setiap pengadilan harus ada
hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan
dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua
petigadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara
pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga
pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan
pengamatan.
Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan
sebagaimana tersebut pada Pasal 278 wajib dikerjakan, ditutup dan
ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
Pasal 280
(1) Hakim pengawas dan pengamat
mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa .putusan pengadilan
dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(2) Hakim pengawas dan pengamat
mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat
bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga
pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik terhadap narapidana selama menjalani
pidananya.
(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani
pidananya.
(4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277 berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan
pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala
atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam
pengamatan hakim tersebut.
PasaI 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan
pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala
lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan
dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara
berkala
BAB
XXI
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
284
(1) Terhadap perkara yang ada sebelum
undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan
undang-undang ini.
(2) Dalam waktu dua tahun setelah
undang undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
BAB
XXII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
285
Undang-undang ini disebut Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia .
Disahkan
di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
pada tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA ,
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
SUDHARMONO,SH
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1981 NOMOR 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar